Penjelasan DJP Tentang Tax Amnesty Jilid II dan Sanksi 200%

 

Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan memberikan batas waktu selama satu bulan kepada seluruh harta milik wajib pajak (WP) yang tengah dihitung oleh tim penilai independen atau tim otoritas pajak nasional.

Hal tersebut dalam rangka implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165 Tahun 2017 yang merupakan revisi atas PMK Nomor 118 Tahun 2016 tentang pelaksanaan undang-undang nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak.

Direktur Peraturan Perpajakan II Yunirwansyah mengatakan, PMK 165/2017 tidak mengatur batas waktu secara jelas terkait kapan WP mengungkapkan hartanya, yang pasti sepanjang Ditjen Pajak belum menemukan maka harta yang telah dilaporkan terbebas dari sanksi administratif sebesar 200%.

“Di PP 36 terkait dengan pelaksanaan lebih lanjut pasca TA, ada dua konsekuensi bagi WP yang ikut dan tidak ikut TA. Pertama, bisa jadi mereka yang duitnya di dalam negeri terus dipindahkan ke luar negeri, kemudian masih ada harta lain yang belum mereka laporkan, atau WP yang tidak ikut TA dari 86-2015 masih diberikan kesempatan,” kata Yunirwansyah di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (26/11/2017).

Meski demikian, Yunirwansyah memastikan kesempatan ini juga tidak bisa dianggap sepele oleh para wajib pajak. Apalagi bagi para WP yang tidak mengetahui nilai dari aset atau harta yang selama ini dimiliki.

Pria yang akrab dipanggil Wawan ini menjelaskan, penilaian harta seperti tanah mengacu pada NJOP, kendaraan berdasarkan NJKB, sedangkan saham sesuai dengan acuan saham di Bursa Efek Indonesia. Jika di luar dari itu, seperti lukisan dan sebagainya bisa dihitung melalui tim penilai independen atau dari Ditjen Pajak.

Namun, dalam penghitungan tersebut masih bisa dikenakan sanksi administrasi yang mencapai 200% jika WP tidak melaporkannya dalam SPT terhitung 1 bulan sejak dihitung oleh tim penilai.

“Satu bulan setelah itu dilaporkan dalam SPT, kalau lewat maka aset tersebut bisa dikenakan PP 36,” kata Wawan.

Dalam PMK 165/2017 ini, mengungkapkan harta yang belum dideklarasikan dalam SPT akan dikenakan tarif normal diatur dalam PP Nomor 36 Tahun 2017 di mana orang pribadi sebesar 30%, badan umum sebesar 25%, dan orang pribadi atau badan tertentu sebesar 12,5%.

Sementara itu, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi PMK 165/2017 merupakan kesempatan bagi WP yang kedapatan belum mengungkapkan seluruh hartanya dalam SPT, hal itu ditujukan baik yang sudah ikut program tax amnesty maupun yang tidak.

Ken membantah, bahwa PMK 165 ini merupakan kebijakan pengampunan jilid kedua. Menurut dia, isi kebijakannya sangat berbeda dengan payung hukum pada saat program tax amnesty.

“Yang namanya TA jilid II itu enggak ada. Kalau amnesti itu tidak dilakukan pemeriksaan, tapi kalau ini tetap dilakukan pemeriksaan,” kata Ken.

“Intinya, cara penyelesaiannya melalui mengisi SPT PPh Final. Yang penting bagi saya, tidak ada yang namanya TA jilid II. Ini sama sekali berbeda. Isinya pun berbeda, ini hanya berikan kemudahan WP yang akan betulkan SPT sepanjang belum ditemukan oleh DJP. Jadi kita melakukan hal yang bersifat keadilan, dan kesempatan WP untuk membetulkan SPT-nya,” jelas Ken.

Meski demikian, kata Ken, tujuan pemerintah menerbitkan PMK 165 Tahun 2017 ini dalam rangka memberikan keadilan dan mendorong kepatuhan bagi wajib pajak, baik yang ikut tax amnesty maupun yang tidak.

“Saya memberikan keadilan saja, DJP memberikan kemudahan dan keadilan sehingga tidak mengganggu perkembangan dunia usaha, bagi mereka yang lupa masih ada kesempatan pembetulan sebelum Ditjen Pajak menemukan. Kalau ditemukan dan kita klarifikasi datanya benar, maka kita terbitkan surat perintah pemeriksaan (SP2) tadi,” tutup Ken.

sumber : www.detik.com