Ini Alasan Bea Cukai Terapkan Pajak Barang Mahal dari Luar Negeri

TANGERANG, KOMPAS.com – Dalam video yang beredar beberapa waktu lalu, seorang penumpang mengeluhkan bea masuk yang cukup tinggi untuk barang bawaannya dari luar negeri.

Sejumlah warganet yang menyaksikan video tersebut juga mempertanyakan nilai pajak untuk tiap barang mahal yang dianggap terlampau tinggi.

Menurut Kepala Kantor Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta Erwin Situmorang, ketentuan itu tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188 Tahun 2010 tentang batasan harga barang yang dikenakan bea masuk.

Aturan yang berlaku sejak tahun 2010 itu membatasi barang bawaan penumpang dari luar negeri yang tidak dikenakan bea masuk.

Barang-barang yang tak dikenakan bea masuk adalah yang berharga 250 dolar AS per individu dan 1.000 dolar AS per keluarga.

“Aturannya juga menyatakan sepanjang keperluan pribadi, misalkan baju yang dipakai, jam tangan sepanjang barang itu benar-benar barang dia, kebutuhan dia, itu keperluan pribadinya, sehingga di undang-undang itu dibebaskan dari bea masuk,” kata Erwin saat dihubungi Kompas.com pada Senin (25/9/2017) pagi.

Menurut Erwin, banyak penumpang yang semestinya dikenakan bea masuk karena harga barang melebihi batas yang ditetapkan, mencoba berkompromi untuk tidak membayar pajak.

Para penumpang berdalih, mereka hanya membeli satu jenis barang dan mereka minta diloloskan karena masih banyak penumpang lain yang lebih mudah untuk dimintai pajak barangnya.

“Mereka pikir cuma satu orang enggak apa-apa diloloskan, kalau beribu-ribu orang berpikir seperti itu bagaimana? Padahal mereka enggak tahu, kalau mereka beli di luar negeri, itu mematikan industri dalam negeri loh, UKM kita, IKM kita, dan itu saudara-saudara kita yang jual di sini,” tutur Erwin.

Dia mencontohkan kasus salah satu penumpang yang membeli ponsel di luar negeri yang disebut untuk keperluan pribadi sehingga bebas dari bea masuk.

Ketimbang membeli di luar negeri, menurut Erwin, lebih baik membeli ponsel jenis yang sama di dalam negeri karena sudah termasuk dengan pajak pertambahan nilai (PPN).

“Oke, kalau enggak dijual lagi dan dipakai di dalam negeri. Kalau dipakai di dalam negeri, berarti di sana enggak bayar pajak kan, beli di duty free kan. Kalau enggak pungut pajak di sini, akan merugikan suplier ponsel di sini kan,” ujar Erwin.

Terlepas dari argumen itu, Erwin memastikan petugasnya selalu menegakkan aturan tersebut berdasarkan patokan yang jelas, seperti mekanisme profiling penumpang yang dicurigai sudah sering keluar negeri dan kembali membawa barang-barang bermerek untuk dijual lagi.

Serta pembuktian melalui mesin x-ray, di mana barang belanjaan seakan-akan dibeli untuk pribadi tetapi lengkap dengan kotak, dus, dan invoice yang disimpan di dalam koper untuk digabungkan kembali saat dijual di Indonesia.