Pelemahan Rupiah Terhadap USD dan Implikasi Perpajakannya bagi Pemain Barang Impor

Tren pergerakan kurs dolar Amerika Serikat (AS) terhadap Rupiah Indonesia terus menunjukkan kecenderungan meningkat yang cukup material. Perubahan nilai tukar terjadi dimulai dari Rp. 14.700 yang diperparah saat memasuki awal Mei 2024, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp 16,000. Meskipun fenomena ini sempat dirasakan pada beberapa waktu di bulan April 2024, namun kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus stabil di angka sampai Rp 16,500 per 1 dolar AS sepanjang Mei sampai akhir Juni 2024.

Sementara itu dari sisi pemerintahan, APBN tahun 2024 dibuat dengan asumsi kurs Rp 15.000. Kenaikan kurs mata uang Amerika Serikat sebagai “Green Bag” tentu akan membebani keuangan negara sebab masih banyak bahan baku impor termasuk BBM, beras, gandum dan kedelai yang dibeli dalam mata uang USD. Dikhawatirkan target penerimaan pajak terus dinaikkan karena anggaran yang membengkak.

Di sektor swasta, kenaikan yang signifikan ini tentu saja sangat berdampak bagi para pelaku usaha yang sebagian besar bahan baku dan produknya dibeli secara impor. Di Pihak lain, penurunan laba hampir pasti, karena produk dan jasa yang dijual ke pasar domestik tidak dapat serta merta disesuaikan. Jika Laba kena pajak menurun atau merugi, tetapi beranikah Perusahaan melaporkan penurunan laba atau kerugian? Lalu bagaimana kebijakan akuntansi dan perpajakan menyikapi hal tersebut?

Aturan Perpajakan atas Fluktuasi Nilai Kurs

Aturan perpajakan memahami bahwa fluktuasi nilai kurs yang bergerak dengan cepat dapat menjadi tantangan bagi Wajib Pajak dalam menentukan nilai transaksi perpajakan. Menyikapi hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan secara berkala, setiap minggunya, menetapkan kurs tersendiri bagi transaksi-transaksi atau aktivitas di bidang perpajakan, seperti pembuatan faktur pajak, dokumen perpajakan dan pembayaran pajak.

Pasal 6 huruf e UU nomor 36 tahun 2008 sebagaimana diperbaharui melalui UU nomor 7 tahun 2021 tentang UU harmonisasi peraturan perpajakan menyatakan sehubungan dengan kerugian yang diakibatkan dari selisih kurs dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.

Bagaimana kenaikan nilai tukar/ kurs dolar yang mempengaruhi pajak para pemain barang impor ?

  1. Pengaruh terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor
    Selain tingginya harga pokok barang, efek dari kenaikan kurs dolar yang signifikan adalah kenaikan pajak-pajak yang melekat langsung dalam kegiatan impor dan pada barang, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor dan Bea Masuk. Hal ini dikarenakan faktor pengali dari pajak-pajak tersebut atau yang lebih dikenal dengan “Dasar Pengenaan Pajak (DPP)” dihitung sesuai kurs valuta asing yang tentunya ikut mengalami kenaikan. Di lain sisi, harga jual di dalam negeri tidak dapat serta merta ikut naik karena tingginya persaingan di pasar perdagangan dan khawatir akan berefek ke konsumen/pelanggan. Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi importir.
  2. Pengaruh terhadap Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor
    Selain PPN Impor dan Bea Masuk, pajak lain yang ikut terpengaruh akibat tingginya nilai kurs terhadap mata uang Rupiah yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor. Meskipun, PPh 22 Impor dapat menjadi pengurang dari pajak-pajak yang terutang (dikreditkan) ataupun dapat dimintakan pengembalian (restitusi) ke otoritas perpajakan jika jumlah kredit pajaknya lebih bayar dari pajak yang terutang, namun, dalam kenyataannya, tidak sedikit dari para pengusaha memilih untuk membiayakan pajak-pajak tersebut daripada mengajukan restitusi dengan berbagai alasan, salah satunya ketidaksiapan para pengusaha untuk diperiksa kewajiban perpajakannya, dan bisa saja yang tadinya ada kelebihan bayar berubah menjadi kurang bayar.
    Perlu menjadi catatan, sekalipun secara komersil PPh 22 Impor dapat dibiayakan, namun aturan perpajakan tidak memperbolehkan PPh 22 Impor diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan (Non Deductible Expense) dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income).
  3. Pengaruh terhadap Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25
    Angsuran PPh 25 Tahunan dihitung berdasarkan kondisi-kondisi keuangan di tahun lalu. Dengan adanya kenaikan nilai tukar/ kurs, kondisi-kondisi keuangan yang digunakan untuk menghitung angsuran PPh 25 tahun berjalan sudah pasti tidak lagi relevan untuk digunakan di tahun berjalan. Angsuran PPh 25 tahun berjalan yang sudah dibayarkan oleh perusahaan, jika diteruskan sampai akhir tahun, berkemungkinan menjadi lebih besar daripada jumlah PPh Tahunan yang terutang. Kelebihan pembayaran ini, apabila tidak dimintakan pengembalian/ restitusi akan menjadi beban tambahan bagi cashflow perusahaan.

Strategi menghadapi Kenaikan Kurs Bagi Perusahaan Importir

Bagi perusahaan importir yang mengalami kenaikan kurs dolar, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengelola dampak atau meringankan kenaikan tersebut. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat membantu mengurangi atau meringankan dampak perpajakan yang merugikan:

  1. Pemanfaatan Insentif Perpajakan dan Perencanaan Pajak
    Beberapa insentif perpajakan yang diatur dalam PMK 198/PMK.010/2019 dan PMK 110/PMK.04/2019 memungkinkan para pelaku usaha mendapatkan pembebasan pajak seperti pembebasan bea masuk dan PPN Impor.
    Untuk mendapatkan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk, badan usaha harus memenuhi kriteria dan syarat sebagai berikut:
    a. berskala industri kecil atau industri menengah
    b. melakukan kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan bahan baku untuk tujuan             ekspor;
    c. dalam hal seluruh atau sebagian bahan baku berasal dari luar daerah pabean:
        Telah melakukan kegiatan paling singkat 2 (dua) tahun; atau Telah memiliki kontrak penjualan             ekspor dalam hal badan usaha     melakukan kegiatan kurang dari 2 (dua) tahun;
    d. Dalam hal seluruh bahan baku berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, badan usaha telah       memenuhi realisasi ekspor paling sedikit 25% dari hasil penjualan tahunan selama jangka waktu       2 (dua) tahun terakhir;
    e. merupakan badan usaha yang berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau bukan           cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik secara langsung maupun           tidak langsung dari usaha kecil lain, usaha menengah lain, atau usaha besar;
    f. memiliki bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi yang berlaku untuk waktu paling singkat              selama 2 (dua) tahun untuk tempat melakukan kegiatan produksi dan tempat penyimpanan              Barang dan/atau Bahan, Mesin, serta Hasil Produksi
        seperti yang juga diatur dalam PMK Nomor 46/PMK.010/2022 Tentang Tarif Bea Masuk dalam          Rangka Persetujuan Kerangka Kerjasama Ekonomi menyeluruh antara Perhimpunan Bangsa-              Bangsa Asia Tenggara dan Republik Rakyat Tiongkok  (Asean- China Free Trade Area) sehingga          tarif bea masuk cenderung lebih rendah dari tarif yang berlaku umum.
  2. Diversifikasi Pemasok
    Beberapa barang-barang berkemungkinan secara substitusi tersedia di dalam negeri. Ketika kurs semakin bertambah tinggi, para pelaku usaha dapat melakukan diversifikasi dari pemasok-pemasok barang yang biasanya diimpor dari luar negeri ke pemasok-pemasok di dalam negeri. Tentu dengan asumsi barang tersebut bersubstitusi dengan barang lokal misalnya mengganti gandum dengan bahan substitusi lokal bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum, terutama ketika kurs mata uang asing meningkat. Seperti beras, kentang, sagu, ubi dan bentuk pati lainnya. Menggunakan bahan substitusi lokal ini tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga mendukung petani lokal dan meningkatkan ekonomi domestik
  3. Manajemen Kurs dan Pembelian Mata Uang sebelum Jatuh Tempo
    Salah satu masalah dari kenaikan kurs yang signifikan adalah tagihan-tagihan yang jatuh tempo pada saat kurs berada pada level tertinggi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yakni melakukan negosiasi ulang atau peninjauan kembali tagihan-tagihan yang akan segera jatuh tempo, misalnya menunda pembayaran, pembayaran sebagian atau pemberian imbalan bunga yang nilainya tetap.

Apakah boleh menggunakan kurs tetap (kurs historis) untuk menghindari kerugian revaluasi hutang dalam mata uang asing?

Kurs tetap adalah salah satu dari dua jenis cara pencatatan pengakuan laba rugi kurs. Sesuai namanya, kurs tetap adalah sistem nilai tukar yang sifatnya tidak mencatat laba rugi unrealized, sampai saat valuta asing dibeli atau dijual dengan kurs transaksi (realized forex gain/loss).

Sementara itu, revaluasi hutang biasanya dilakukan dengan menggunakan kurs tengah yang berlaku pada tanggal pelaporan. Kurs tengah adalah kurs yang ditetapkan oleh bank sentral atau otoritas moneter yang mencerminkan nilai tukar rata-rata antara kurs beli dan kurs jual. Di Indonesia, kurs tengah yang sering digunakan adalah kurs tengah Bank Indonesia (BI).

Pencatatan hutang menggunakan kurs tetap tidak disarankan, dikarenakan:

  • Sejak UU Pajak Penghasilan direformasi, penggunaan kurs tetap telah ditiada Semula dalam penjelasan Pasal 6 huruf e UU Pajak Penghasilan No 17 tahun 2000. Wajib Pajak boleh memilih penggunaan kurs tetap atau kurs tengah BI atau kurs lainnya selama dianut secara taat asas. Namun, sejak UU no 36 tahun 2008, penggunaan kurs tetap sudah dihapuskan.
  • Tidak sesuai standar akuntansi: Standar akuntansi seperti Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia dan International Financial Reporting Standards (IFRS) mengharuskan penggunaan kurs yang berlaku pada tanggal pelaporan. Ini sesuai amanat UU pajak penghasilan, khususnya dalam pasal 4 ayat 1 huruf L, bagian penjelasan tertulis demikian untuk keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.

 

You must be logged in to post a comment.